Thursday, November 15, 2012

Janganlah Menunda Selagi Ada Kesempatan


Hup !”
Dengan seenaknya Vidi melompat ke motor seorang tukang ojek. “pegang kencang-kencanglah, nanti kalo jato pula anak orang, cemmana nasib awak, awak pula yang kena!” tutur si Abang.

“ Veteran, bang! Cepat sikitlah!” Dan motor ojekan itu pun melaju.

Tak berapa lama vidi telah tiba didepan rumahnya. Belum membuka pintu pagar, Vidi sudah melepas jilbab putihnya
 yg sejak tadi dikenakan. Gerah ‘kali, batinnya. Dengan ringan kemudian ia melangkah masuk kehalaman.

“Vidiii! Vidii?? As….. salaam….as…”

“Hai Rizal!” Vidi membalas sapa Rizal yang lewat didepan rumahnya. Jilbabnya ia lambaikan kearah Rizal dengan riang.Tak mampir dulu? 

Rizal hanya ternganga. Mulutnya membentuk huruf O! Ketua Madrasah Aliyah Negeri Medan itu pun buru-buru berlalu! 

********** 
Bukan mau Vidi sekolah di Madrasah Aliyah Negeri itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak berhasil masuk ke SLTA Negeri yang ada dirayonnya.Akhirnya ia pun ‘terpaksa’ mengikuti tes untuk masuk MAN. Mamak dan Bapak yang menyuruhnya!

“ Dari dulu bapak lebih suka kau sekolah di Aliyah, lulus itu terserah kaulah, meski bapak lebih suka kau kuliah di IAIN.
Paham agama lagi berbudi . Jadi Ustadzah seperti si Mamak,” nasihat bapak waktu itu.
“kalau perlu lebih lagi dari Mamak. Pigi keArab sana. Paling tidak, begitu pulang, Al-Qur’an sdh diluar kepala!
Kesempatan ada, biaya kau punya!”mamak nimbrung, menasehati putri tunggalnya itu. 

Huh, Norak! Kuno!
Tetapi akhirnya, ya seperti itulah, Vidi masuk MAN. Seminggu, dua minggu, Sebulan sekolah disana, Vidi selalu pergi dan pulang sekolah dengan wajah bertekuk-tekuk. Dia kesal sekali! Setiap kesekolah dia harus mengenakan jilbab! Hal yang sejak dulu disuruh oleh bapak Mamak dan ditolak mentah-mentah kini menjadi kewajiban di MAN itu ! 

“Vidi tahu itu wajib! Vidi mau! Tapi nanti, Mak,nanti, kalau Vidi sudah married atau kalau sudah tua!” katanya kepada Mamak dan Bapak waktu itu. 

Sekarang sebodo amat, pikir Vidi. Begitu keluar dari pintu gerbang Madrasah Aliyah itu, sering ia langsung membuka jilbab yang ia kenakannya. Dan, hanya beberapa teman saja yang memandangnya keheranan , yang lain banyak melakukan hal yang sama dengan Vidi! Ada Dita, Rini, Rumondang, si Butet, Tati, Ipah, Nisa, Khoir dan banyak lagi anak-anak ‘modern’ lainnya. Mereka juga masuk MAN karena merasa terpaksa! Sekali lagi; terpaksa! 

“Alaaah, perduli apa. Lihat saja Kak Reta dan Kak Glena, Tetangga dekat rumahku itu. Biar kuliah di IAIN, kalau dirumah atau pergi kemana-mana tak pernah pakai jilbab! Cuma kalau kuliah. Nisa si Anak pesantren juga begitu! Lagian….” Butet tak meneruskan kata-katanya. 

“Apa,Tet?’ Tanya Vidi.
“Sssstt, he…he…he… nggak boleh tuh sama pacarnya!”
“Hua….ha…ha…ha…” tawa mereka serempak.
“Eeee, anak madrasah mana boleh ketawa ngakak macam itu??” mimic Rita pura-pura menegur.
“Huuu! Suka-sukalah!”
“ aku suka kamu , Vidi!”

Itu kata Ramli sebulan yg lalu, kakak kelasnya di Madrasah Aliyah alias wakil ketua Osis. Lumayanlah orangnya.
“Boleh, malam minggu kerumahmu?” 
“Janganlah senekad itu dulu. Kau kan tahu bapakku Ustadz, mamaku Ustadzah. Mereka bilang, pacaran itu tak Islami. Maklum, namanya orang jaman dulu….” 

“lalu bagaimana?”
“kalau mau jumpa, dirumah si Butet saja,” usul Vidi. 

Dan bagi Vidi kemudian, bukan masalah kalau banyak temannya disekolah yang tahu’affair’nya dengan Ramli Siregar. Juga ketiga Fatimah, teman sebangkunya yang berjilbab rapi dan berwajah teduh itu menasihatinya. 

“Urus saja dirimu sendiri, Fatimah!”tukas vidi ketus. Butet disampingnya turut memanas-manasi. 

“Astaghfirullah, bukan begitu Vidi, aku….aku hanya sayang kamu. Aku ingin kamu menjadi wanita yang mengerti hakikat nilai Muslimah. Harusnya…..” 

“Diam! Mulutmu macam mamak-mamak saja!” 

Kesal, benci,keki, bermacam rasa tentang teman sebangkunya itu ada didada Vidi. Sebal mengapa aku harus sebangku aku harus sebangku dengan orang yang sok alim itu,pikirnya. Tempo hari Fatimah menasehatinya soal jilbabnya yang ‘berkibaran’ kemana-mana itu, kemudian soal beberapa majalah music dan mode yang dibawanya kesekolah, dan kini ikut campur masalah pergaulannya! Huh! 

“Fat, kalau kamu mau lihat aku bersikap seperti kamu, tunggulah lima puluh tahun lagi! Kalau sudah nenek-nenek!” pernah Vidi berkata seperti itu. Kasar sekali memang. Habis Fatimah kuno dan menjengkelkan! Ya, meski ia tetap ramah dan baik kepada Vidi. 

“Vidi, ini ada surat panggilan ke ruang guru!”Ups! suara Butet mengagetkannya!

“Kau akan mewakili madrasah dalam Musabaqah Tilawatil Quran tingkat SLTA sekota Medan. Semua guru sepakat kau adalah yang terbaik yang kami punya,” kata Mudir aliyah sore itu,”Selamat berlomba, Vidi!” 

Vidi tersenyum cerah. 

Sejak dulu, sejak SD, Ia kerap menjuarai MTQ. Bukan Cuma suara dan lantunan nadanya saja yang bagus, ia menguasai seluk-beluk tilawah yang baik dan benar. Tahu betul makhrojul hurufnya. Mamak dan bapak yang mengajarkan. Dan …. Vidi bangga. Banyak temannya yang bahkan berjilbab rapi seperti Fatimah atau rian yang kalah bagus dengannya kalau untuk membaca Quran yang baik dan benar! Sungguh! 

“Biar gigi-gini aku jago baca Quran kayak Mel Shandy. Biar rocker, tapi….weisss! Qoriah! Ha..ha…” ujar Vidi Riang. 

Ramli dan Butet nyengir. Ikutan bangga. Apabila ketika seminggu kemudian Vidi memenangkan MTQ tersebut! Wuihh! 

“Al-Quran tak Cuma untuk dilombakan seperti ini, tetapi untuk dipahami, dihayati, dam diamalkan. Aku berdoa kepada ALLAH agar kau mendapat hidayah-Nya, Vidi,” kata Fatimah begitu mendengar tentang kemenangan Vidi tersebut, “Apalagi kamu.... anak madrasah.” 

Vidi cemberut. Perkataan Fatimah mirip sekali dengan yang dikatakan Bapak dan Mamak! 

“Kapan kamu berubah, Vidi? Mencintai Islam dengan sepenuh hatimu. Mencintai ALLAH dan Rasul diatas segalanya?
Masya ALLAH, Vidi, kamu bias berbuat sangat banyak, lebih dari sekedar ikut MTQ,” kata Fatimah lagi. 
Entah mengapa lama-lama Vidi agak terharu juga mendengar kata-kata Fatimah itu.

“Aku akan berubah, akan! Tetapi, tidak sekarang. Selalu masih ada tahun-tahun yang akan dating. Aku juga ingin serius menjalangkan agama ini, tetapi aku belum mampu.” 
Fatimah memandamg Vidi. Dalam.
“Oke, aku majukan target, deh. Tidak usah lima puluh tahun lagi. Kelak bila aku sudah menikah, aku akan jilbab dan berlaku manis.” Vidi tertawa lagi. 

“eh, sama! Aku juga! Masih ada esok ‘kan?”ujar Butet nimbung. 

Minggu akhir November itu Vidi benar-benar ceri.’Gang-nya,Vidi, si Butet, Rita,Ipah, Khoir, Rumondang, tati, Dita, dan Rini menghabiskan waktu di Brastagi. Minggu itu mereka benar-benar refreshing dari tugas-tugas rutin sekolah. Mereka pun menikmati pemandangan Brastagi yang indah, foto-foto dan kenalan sama beberapa pengunjung disana, utamanya yang cowok-cowok! 

Butet tampak begitu gembira, seketika ia tampak begitu akrab dengan Tigor dan Har yang baru saja dikenalnya. Yang lain masih asyik memotret. Vidi santai membaca majalah remaja yang baru saja dibelinya. Wah, hawa Brastagi benar-benar sejuk! 

Jam sudah menunjukkan pukul tiga ketika mereka semua bersiap-siap untuk pulang. Lumayan jarak Brastagi dan Medan! Mereka tak mau ambil resiko kemalaman. Iiii, apalagi Vidi dab Butet yang perginya ngumpet-ngumpet!. 

Semua sudah berkumpul ditempat yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi Butet tak ada! 

“Ke mana pula sih, orang itu! Centil kali !” suara Rumondang gusar dan ceplas-ceplos. 

“aku kira kamu bersamanya, Mondang. Tadi kan kamu dan butet ngobrol-ngobrol sama cowok itu,” kata Vidi sedikit resah. 

“iya, tapi kemudian mereka bertiga pergi. Aku nggak ikut!"
"Kemana, Mondang?"
"Mana kutahu? Restoran barang kali!"
Dada Vidi berdebar keras. Ia mulai cemas.
Satu jam kemudian Butet belum kembali juga. Teman-teman yang takut kemalaman.
“Mungkin sudah pulang, Di. Kita jalan sajalah!” kali ini suara Rita dan Khoir. 

“Tidak. Butet mana berani pulang sendiri? Harus ada aku yang mengantarnya, kalau ia tak mau kena marah mamaknya,” tegas Vidi. 

“Kita berpencar dua-dua mencarinya. Satu jam lagi semua sudah ada disini kembali!” 

Bersama Rita, Vidi mencari Butet. Menjelajahi jalan-jalan indah sekitar Brastagi. Sia-sia Butet tak ditemukan jua!
“Kalau kesana-sana mungkin, Rit?” 

“Eeee, semak-semak seperti itu mana pernah dilintasi orang!” tukas Rita. Saat itu mereka sampai diujung jalan keindahan Brastagi. Di depan mereka kini adalah semacam belantara dengan jalan terjal yang mendaki.

“Ya ALLAH! “ Vidi berjongkok dan memungut sesuatu.
“Apa?”

“Ini saputangan Butet! Aku memberikannya saat ia ulang tahun! Rita, pasti ia sempat berada disekitar sini!” suara Vidi agak bergetar. 

“Kita kembali saja, Vidi! Sudah sore! Teman-teman Pasti sudah menunggu!”
“Tidak, kita akan kesana!” tangan Vidi menunjuk belantara dihadapan mereka!
“aku…aku…takut…”
Vidi menarik tangan Rita. Jantungnya berdetak lebih keras. Tak mungkin, tak mungkin dia kesini, bisik hati Vidi. Akan tetapi….. 

“Aaaah!!! Vidi dan rita berteriak sekeras-kerasnya!

Butet terkapar di semak-semak! Pakaiannya tak karuan! Matanya terbelalak keluar! Sebilah belati menancap di dadanya!

Vidi kian histeris, sementara Rita pingsan.

*******

Sejak kematian Butet, Vidi jadi pendiam dan sering menyendiri. Beberapa kali ia sempat kekantor polisi untuk mengedintifikasi beberapa foto p[reman Medan yang dicurigai sebagai pemerkosa dan pembunuh Butet! Ya, orang-orang yang mengaku bernama Tigor dan Har itu!

“Ajal seseorang itu seperti yang ditakdirkan ALLAH. Kita tidak pernah tau kapan ia dating, tetapi pasti tiba. Mungkin lima puluh tahun lagi, mungkin bulan depan, bias jadi besok atau ….mungkin sekarang, sepulang kita dari sekolah.Allahu a’alam. Siapa yang menyangka tak ada lagi hari esok untuk Butet,” ujar Fatimah sedih.

Vidi diam saja. Ah, ia tak bias melepaskan bayangan Butet saat dengan bangga butet menunjukkan baju mini tak berlengan itu.

“Cantik kan? Kembang-kembang dengan warna dasar Peach!” ujarnya waktu itu.

“Kalau aku sih, nggak berani pakai baju yang seperti itu. Wah , apabila kalau Mamak dan Bapak lihat, bias dilibas habislah!” tukas Vidi

Dan mereka berdua tertawa. Baju itu pula yang dipakai Butet saat tragedy berdarah itu terjadi!

Ups! Vidi mencoba memejamkan mata. Bayangan Butet tak jua hilang. Astagfirullah, dimana, bagaimana, apa yang dialami Butet sekarang dialam kubur ? Apa yang Astagfirullah. Siapakah yang tahu akan ajal seseorang?

Bagaimana kalau besok ia mati?

Vidi gemetar. Malam itu ia shalat Isya lama sekali. Saat tilawah Quran Vidi menangis! Hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

********

Sudah dua hari ini Fatimah tak masik sekolah. Katanya sih Cuma deman. Yang jelas, Vidi merasa kehilangan. Akhir-akhir ini ia merasa membutuhkan Fatimah. Ia butuh mendengar kata-kata bijak, nasihat, kecaman atau apa sajalah dari Fatimah. Hari ini ia ingin sekali bercerita kepada Fatimah bahwa hubungannya dengan Bapak dan Mamak sudah semakin baik dan indah. Juga tentang rencananya hari ini untuk memutuskan hubungan dengan Ramli Siregar. Tentang surat “PHK” yang dikirimnya untuk anak itu. Lalu tentang rencananya untuk pakai jilbab tahun depan! Ya satu setengah bulan lagi!

Entahlah. Kata mamak ALLAH memang Maha pembolak balik hati. Mungkin saat ini Vidi merasa mendapat taufik dan hidayah-Nya. Astaghfirullah, tadi pagi, Vidi membaca dikoran tentang Gunung Merapi yang meletus tiba-tiba! Tak ada yang mengira! Badan vulkanologi pun terkejut! Ribuan orang terluka dan kehilangan harta, tempat tinggal, juga nyawa! Innalillahi! Kemudian berita tentang Bosnia. Wajah sendu Muslimah-muslimah kecil yang rapi berjilbab itu terekam jelas dalam ingatannya, wajah Butet….

“Vidi, kamu lain sekarang!”sapa Rumondang mengejutkan Vidi.

Vidi tersenyum. “lain apanya, sih? Sama saja.”

“Lebih alim! Ha…ha..ha…” Rumondang, Rita, dan Ipah serempak menjawab.

“Ooo, aku Cuma merenungi hakikat kehidupan yang fana ini. Mungkin sudah saatnya untuk lebih dekat sama Sang Pencipta!” ujar Vidi. “Oh ya, aku mau jenguk Fatimah nih, ada yang mau ikut?”

“Tumben, Di! Biasanya kamu senang kalau di tak masuk!” protes Ipah.

“Siapa bilang? Aku kangen!”

“Ala mak, Cuma sakit panas. Besok juga masuk!” tukas Rumondang.

*********

“Benar, Fat! Tahun depan akau mau berubah! Mau pakai jilbab, nggak Cuma kalau kesekolah! Kaffah!” seru Vidi antusias.

Fatimah tersenyum.” Alhamdulillah…” wajah pucatnya terlihat gembira. “Satu setengah bulan lagi ya, Di!?”

“Iyalah, sebentar lagi!” Vidi tertawa. “Siregar pun sudah aku putusin. Aku mau konsentrasi sekolah dan mulai mendalami agama.”

“Alhamdulillah…” sahut Fatimah lagi.”Ma’af, jam berapa sekarang, Vidi?’

“udah masuk asar.”

Tak lama Tante Lubis, Mamak Fatimah, membimbing Fatimah ke kamar mandi.

“Sholat, Vidi. Ma…af, aku sambil…..tiduran,” kata Fatimah usai dari kamar mandi.

Vidi juga segera berwudhu dan berjamaah dengan Tante Lubis. Mamak Fatimah yang cantik ini pun berjilbab rapi sekali. Selesai shalat, Vidi baru ingat, masya ALLAH, ia ada janji dengan Mamak dan bapak untuk pergi kerumah Nek Banun!

Vidi masuk kekamar Fatimah kembali. Ia mau pamit, tetapi tampaknya Fatimah tertidur. Ah, bukankah ia baru saja shalat?
Vidi maju beberapa langkah mendekati Fatimah. Ia tak mau menggangu tidurnya, hanya saja entah mengapa Vidi ingin menggenggam tangan Fatimah sebelum pulang kerumah. Digemggamnya erat tangan Fatimah. “Cepat sembuh. Semoga ALLAH menyembuhkan-mu. Amin,” doa Vidi.

Vidi seperti merasakan keanaejhan. Sepertinya…. Sepertinya… Fatimah tak bernafas lagi! Bagaimana, bagaimana bias? Atau…

“Tante Lubis,” suara Vidi tersekat di kerongkongan. “Fatimah, apa dia…”

Tante Lubis menghampiri Fatimah. Memeriksanya sebentar. Wajah tulusnya tampak sedih. Setitik air matanya jatuh. “ Innalillahi wa innailaihi raji’un…,” lirih suara Tante Lubis.

Vidi tercengang! Fatimah, bagaimana mungkin? Baru saja mereka bercakap-cakap, baru saja Fatimah berwudhu, baru saja…. Dan ya ALLAH, Fatimah hanya deman! Hanya sakit panas, mengapa bisa mati???

Butiran air mata Vidi deras menagalir. Tante Lubis memeluknya erat. Isak mereka hampir berbarengan. Siapa yang menyangka Fatimah akan….. maafkan kesombomgan hamba, astaghfirullah! Kata Vidi berulang kali pada diri sendiri.

Aku akan pulang dan berubah. Sekarang, Fat, selagi ada kesempatan untukku. Aku akan menjadi muslimah yang baik. Aku akan pakai jilbab itu. Tidak tahun depan. Walau tahun depan tinggal satu setengah bulan lagi, aku jadi tak yakin akan hidup selama itu. Aku bahkan tak yakin apakah masih ada esok untukku….

Air mata Vidi kian deras. Ia akan berubah! Sekarang! Detik ini jua! Sudah terlalu banyak pelajaran di depan matanya.

“Aku datang, ya ALLAH, tanpa berani berani bermain-main dengan-Mu barang sekejap pun, selagi ada kesempatan. Ya , kesempatan yang kau berikan kepadaku. Bismillahi…”

Esok harinya ada Vidi jihadi yang lain di Madrasah Aliyah Negeri Medan. Yang bertekad kuat untuk menjaga citra dirinya sebagai Muslimah, sebagai anak madrasah…..

Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...

No comments:

Post a Comment